Rabu, 28 Mei 2014

Kepada Sepasang Cahaya Kehidupan






Senja yang biasanya berkiblat kepada ranah keresahan dan kegalauan seseorang, kini berubah menjadi bantalan metal berlapis baja.

Memang tak menyulut api yang berkobar, namun tetap saja rasa itu membuat bulu ini bergidik.
Temaram mentari bak menyisaratkan suatu kehidupan yang tabu.
Dalam selongsong pena berisi bubuk mesiu.


Hampa tanpa ada udara berkelebat.
Ditimpa indahnya kemilau kecil, yang mereka sebut bintang.
Bergelimat dengan kicauan burung terdeteksi bubuk radiasi.
Terbang menjelma, seakan bidadari bayangan surgawi.
Terduduk dalam kenestapaan yang berpilukan kucur keringat.
Dengan amat menyesal mengurungkan hati agar menjadi suatu batu prasasti.
Tak banyak yang menyadari akan keriuhan semakin merasuk.
Riuh.. namun tak sedikitpun terusik.
Tanpa sentuhan batin yang bergelora, membuat takjub mata dunia dengan sebilah kata.
Namun sayang, ketakjuban itu hanya sekilas menghiasi bunga tidur tanpa arti.
Kembali terdiam dalam sendu, mengasihani nasib bagai sang piatu.
Ingin bangkit, tetapi tak satupun harapan dapat terakit.
Indah hingar bingar dunia, hanyalah buaian fatamorgana dengan beribu alasan dunia tanpa efek nyata.
Bermodal secarik kertas lusuh, dengan pencahayaan kusam tanpa kemilau bintang.
Merajuk tiap insan yang melihat.
Entah mengapa ini terus menjadi - jadi, seakan tak ada lagi yang mau menghampiri.
Menghidupi hidup tanpa ada secuil keriangan, kebahagiaan dan kenyamanan.
Itulah aku.. ketika memang Satu pasang cahaya kehidupan membelah diri bak bakteri tanpa rasa kasih sayang dan kepedulian di hati.


Kembali ditulis saat fajar mulai menghilang..
Di ketinggian yang cukup untuk melihat hiasan kecil berkerlip.
E.R.L 19th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar