Rabu, 29 Januari 2014

Pemikiran Realistis Namun Belum Mencapai Taraf

Kali ini saya akan tulis mengenai hal yang akhir – akhir ini menjadi pertanyaan yang sering sekali muncul di otak saya. Saat ini saya masih menjabat sebagai mahasiswi tingkat 3 (tiga)  di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, umur saya pun belum genap menyentuh kepala dua. Entah apa yang mampu membuat saya terus menerus mencari jawaban atas pertanyaan yang saya buat sendiri, yaitu “apa sih penyebab rusaknya hubungan dalam berumah tangga?” atau pertanyaan seperti ini “apa benar puber ke 2(dua) itu ada? Apakah itu masa paling kritis dalam berumah tangga?”. 

Untuk manusia seperti saya yang masih duduk di bangku kuliah, rasanya hal itu tidak lazim di pertanyakan. Apalagi melihat umur saya yang masih menginjak belasan. Tetapi karena kerap kali melihat teman – teman yang sering mengeluh tentang hubungan keharmonisan ayah dan bunda mereka yang sangat limit, membuat saya terus bertanya. Dimanakah penyebab keretakan hubungan mereka? Apakah dari pihak laki – laki yang katanya akan mengalami puber ke 2 pada saat menginjak masa rentan yaitu 40 – 50 tahun ? ataukah kesalahan ada pada pihak perempuan yang terlalu mengekang laki – laki, sehingga sang laki – laki tidak merasa nyaman?

Entahlah.. yang sangat jelas sekitar 70% dari teman dekat yang saya miliki, memiliki keluhan yang sama pada kedua orang tua mereka. Ada yang hanya terguncang kemudian kembali utuh dan berakhir bahagia, tetapi ada pula salah satu teman yang tidak perlu saya sebutkan namanya sampai stress, karna menjadi korban atas perpisahan ayah dan ibu si teman saya tersebut.
Ketika suatu malam saya bertanya pada ibu saya “mah.. kenapa sih hubungan rumah tangga itu bisa hancur? Padahal tidak sedikit dari mereka yang sudah memiliki anak, bahkan anak itu sudah dewasa?” kemudian ibu saya menjawab “ya macam – macam alasannya, ada yang merasa sudah tidak cocok, ada yang memang karna main belakang, karna tidak nyaman antara satu sama lain. Ada juga yang berpisah karena faktor ekonomi maupun beban fisik dan psikis yang mereka tanggung masing – masing tidak bisa saling melengkapi”

Setelah saya tangkap apa yang ibu saya bilang, bisa dikatakan yang mendominasi perpisahan ataupun keretakan hubungan adalah individu yang tidak bisa mengerti akan pasangan nya masing – masing. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Tak jarang dari mereka yang berpisah berlandaskan hal tersebut adalah pasangan yang telah mengenal dan menikah berpuluh – puluh tahun. Jikalau mereka yang sudah mengenal selama itu saja masih bisa berpisah, bagaimana kabar kami para kawula muda yang dalam taraf ini masih berpacaran kurang dari sewindu, atau bahkan kurang dari satu tahun?
Kemudian jika alasan mereka karena tidak cocok, lalu untuk apa mereka menikah jika tidak menemukan kecocokan? Bukankah menjalin suatu hubungan yang berlandaskan ketulusan memang dipilih oleh hati dan naluri?

Sekali lagi, entah apa yang membuat saya berpikir seperti ini. Tetapi kekalutan dan ketakutan itu senantiasa datang ketika saya memikirkan tentang masa depan. Walaupun saya bersyukur bahwa saya terlahir dari keluarga, dimana orang tua saya memiliki keharmonisan yang sangat tinggi. Tetapi tanpa termunafiki, saya terkadang masih merasakan takut akan semua yang banyak terjadi kepada orang tua dari teman – teman sepermainan saya.

Walaupun sejauh ini tidak ada yang mengganggu konsern saya dalam hubungan yang saya punya, akibat perselingkuhan ataupun pihak ke tiga lainnya. Tetapi saya sangat berharap, hal itu tidak akan pernah menyentuh kehidupan saya. Karena bagaimanapun alasannya, perpisahan sangat berperan penting dalam perusakan fisik dan psikis anak – anak yang menjadi korban.

Dan pelajaran yang saya ambil, selagi masih muda belajarlah untuk mempersiapkan diri kedepan ketika kelak kita akan di panggil ayah ataupun bunda. Bukan hanya persiapkan materi dan mental menjadi orang tua yang bijak dan baik untuk anak. Tetapi juga persiapkan diri untuk menjadi teman hidup yang saling melengkapi terhadap pasangan anda nantinya, sehingga tidak perlu lagi ada anak – anak yang menjadi korban atas perpisahan dan permasalahan yang kedua orang tua mereka buat sendiri.