Kali ini saya akan tulis mengenai hal yang akhir – akhir ini
menjadi pertanyaan yang sering sekali muncul di otak saya. Saat ini saya masih
menjabat sebagai mahasiswi tingkat 3 (tiga)
di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, umur saya pun belum genap
menyentuh kepala dua. Entah apa yang mampu membuat saya terus menerus mencari
jawaban atas pertanyaan yang saya buat sendiri, yaitu “apa sih penyebab
rusaknya hubungan dalam berumah tangga?” atau pertanyaan seperti ini “apa benar
puber ke 2(dua) itu ada? Apakah itu masa paling kritis dalam berumah tangga?”.
Untuk manusia seperti saya yang masih duduk di bangku
kuliah, rasanya hal itu tidak lazim di pertanyakan. Apalagi melihat umur saya
yang masih menginjak belasan. Tetapi karena kerap kali melihat teman – teman
yang sering mengeluh tentang hubungan keharmonisan ayah dan bunda mereka yang
sangat limit, membuat saya terus bertanya. Dimanakah penyebab keretakan
hubungan mereka? Apakah dari pihak laki – laki yang katanya akan mengalami
puber ke 2 pada saat menginjak masa rentan yaitu 40 – 50 tahun ? ataukah
kesalahan ada pada pihak perempuan yang terlalu mengekang laki – laki, sehingga
sang laki – laki tidak merasa nyaman?
Entahlah.. yang sangat jelas sekitar 70% dari teman dekat
yang saya miliki, memiliki keluhan yang sama pada kedua orang tua mereka. Ada
yang hanya terguncang kemudian kembali utuh dan berakhir bahagia, tetapi ada
pula salah satu teman yang tidak perlu saya sebutkan namanya sampai stress,
karna menjadi korban atas perpisahan ayah dan ibu si teman saya tersebut.
Ketika suatu malam saya bertanya pada ibu saya “mah.. kenapa
sih hubungan rumah tangga itu bisa hancur? Padahal tidak sedikit dari mereka
yang sudah memiliki anak, bahkan anak itu sudah dewasa?” kemudian ibu saya
menjawab “ya macam – macam alasannya, ada yang merasa sudah tidak cocok, ada
yang memang karna main belakang, karna tidak nyaman antara satu sama lain. Ada
juga yang berpisah karena faktor ekonomi maupun beban fisik dan psikis yang
mereka tanggung masing – masing tidak bisa saling melengkapi”
Setelah saya tangkap apa yang ibu saya bilang, bisa
dikatakan yang mendominasi perpisahan ataupun keretakan hubungan adalah
individu yang tidak bisa mengerti akan pasangan nya masing – masing. Bagaimana
mungkin hal itu terjadi? Tak jarang dari mereka yang berpisah berlandaskan hal
tersebut adalah pasangan yang telah mengenal dan menikah berpuluh – puluh
tahun. Jikalau mereka yang sudah mengenal selama itu saja masih bisa berpisah,
bagaimana kabar kami para kawula muda yang dalam taraf ini masih berpacaran
kurang dari sewindu, atau bahkan kurang dari satu tahun?
Kemudian jika alasan mereka karena tidak cocok, lalu untuk
apa mereka menikah jika tidak menemukan kecocokan? Bukankah menjalin suatu
hubungan yang berlandaskan ketulusan memang dipilih oleh hati dan naluri?
Sekali lagi, entah apa yang membuat saya berpikir seperti
ini. Tetapi kekalutan dan ketakutan itu senantiasa datang ketika saya
memikirkan tentang masa depan. Walaupun saya bersyukur bahwa saya terlahir dari
keluarga, dimana orang tua saya memiliki keharmonisan yang sangat tinggi.
Tetapi tanpa termunafiki, saya terkadang masih merasakan takut akan semua yang
banyak terjadi kepada orang tua dari teman – teman sepermainan saya.
Walaupun sejauh ini tidak ada yang mengganggu konsern saya
dalam hubungan yang saya punya, akibat perselingkuhan ataupun pihak ke tiga
lainnya. Tetapi saya sangat berharap, hal itu tidak akan pernah menyentuh
kehidupan saya. Karena bagaimanapun alasannya, perpisahan sangat berperan
penting dalam perusakan fisik dan psikis anak – anak yang menjadi korban.
Dan pelajaran yang saya ambil, selagi masih muda belajarlah
untuk mempersiapkan diri kedepan ketika kelak kita akan di panggil ayah ataupun
bunda. Bukan hanya persiapkan materi dan mental menjadi orang tua yang bijak
dan baik untuk anak. Tetapi juga persiapkan diri untuk menjadi teman hidup yang
saling melengkapi terhadap pasangan anda nantinya, sehingga tidak perlu lagi
ada anak – anak yang menjadi korban atas perpisahan dan permasalahan yang kedua
orang tua mereka buat sendiri.